Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang janda di sebuah hutan yang besar. Janda tersebut hidup sendirian setelah ditinggal oleh suaminya sehingga ia merasa sangat kesepian. Ia sangat mendambakan seorang anak. Suatu hari, ia pergi ke belakang rumahnya. Dilihatnya sebuah tampok pinang. Lalu, iapun berdoa agar diberikan seorang anak walaupun hanya sebesar tampok pinang itu.
Beberapa bulan kemudian, ia baru menyadari bahwa ia sedang mengandung seorang anak. Iapun merasa amat bahagia. Ia menganggap bahwa doanya benar-benar terkabul. Akhirnya, setelah beberapa bulan kemudian, anak yang dinanti-nantikannya itu lahir. Namun, alangkah terkejutnya janda tersebut setelah melihat anak laki-lakinya itu hanya sebesar tampok pinang, sama persis seperti doa yang ia ucapkan waktu itu. Anak laki-lakinya itu dipanggil Si Tampok Pinang.
Waktu terus bergulir. Namun, Si Tampok Pinang masih saja sebesar tampok pinang. Akhirnya, Si Tampok Pinang dewasa diusir oleh ibunya sendiri karena ia malu memiliki anak seperti Si Tampok Pinang. Dengan sedih, Si Tampok Pinang meninggalkan ibunya dan pergi tanpa arah.
Di tengah jalan, ia melihat sebuah tenunan yang terjatuh dari atas maligai. Ternyata, tenunan itu milik seorang Putri yang sangat rupawan yang tinggal di atas maligai. Secara tidak sengaja, Si Putri melihat ada seseorang yang menemukan tenunannya itu. Maka, iapun mengajak orang tersebut, yaitu Si Tampok Pinang, untuk naik ke atas maligai karena Si Putri telah berjanji bahwa barang siapa yang menemukan tenunannya itu, jika laki-laki akan dijadikan sebagai suami, sedangkan jika perempuan akan dijadikan saudaranya.
Namun, alngkah terkejutnya Si Putri ketika melihat bahwa laki-laki yang menemukan tenunannya itu hanya sebesar tampok pinang. Maka, diusapkanlah Si Tampok Pinang ke rambut Si Putri yang sangat panjang itu. Secara ajaib, Si Tampok Pinang berubah menjadi pangeran yang tampan dan rupawan. Tentu saja memiliki tubuh yang normal layaknya manusia pada umumnya. Lalu, Si Putri jatuh cinta kepada Si Tampok Pinang, begitu juga sebaliknya. Sejak pertama kali melihatnya, Si Tampok Pinang langsung jatuh hati kepada Si Putri. Maka, sesuai dengan janji Si Putri, mereka berencana untuk melangsungkan pernikahan. Untuk itu, Si Tampok Pinang mengajak Si Putri untuk bertemu ibunya yang sudah mengusirnya dari rumah. Dia ingin memberitahukan kabar gembira ini kepada ibunya, karena sebenarnya ia masih sangat sayang kepada ibunya.
Awalnya, sang ibu tidak percaya bahwa lelaki yang tampan itu adalah anaknya sendiri, Si Tampok Pinang. Namun, setelah dijelaskan oleh Si Putri, ibunyapun percaya dan merasa sangat bahagia. Tentunya, sang ibu menyetujui tentang rencana pernikahan anaknya itu dengan Si Putri. Untuk itu, ibu Si Tampok Pinang melakukan berbagai persiapan yang besar untuk membuat pesta pernikahan yang sangat meriah. Selama persiapan itu, Si Putri naik ke atas maligai untuk menunggu hingga hari pernikahannya nanti.
Layaknya kebiasaan yang ada, ibu Si Tampok Pinang mengajak orang-orang yang ada di dusunnya untuk memasak makanan untuk acara pesta pernikahan anaknya. Banyak orang yang diajaknya, termasuk juga Si Kenam. Si Kenam adalah seorang perempuan yang berhati jahat dan juga berburuk rupa. Diam-diam, dia juga jatuh hati akan ketampanan yang dimiliki oleh Si Tampok Pinang.
Pada acara masak-memasak, dia mendapatkan tugas untuk mengambil air di sungai. Namun, ia tidak mau karena ia merasa tidak pantas untuk melakukan pekerjaan itu. Jadi, ketika seseorang memberinya sebuah ember untuk mengangkut air, ia selalu memecahkannya. Hal itu dilakukannya berulang kali. Sampai akhirnya, orang-orang tidak memberinya ember lagi, melainkan sebuah kelingan. Kelingan adalah suatu wadah yang terbuat dari kulit sapi yang tidak bisa pecah, kecuali jika digigit anjing. Si Kenam tidak kehilangan akal. Diapun memanggil anjing untuk menggigit kelingan itu. Secara tidak sengaja, Si Putri melihat perbuatannya itu dari atas maligai. Dia merasa geli dan akhirnya tertawa melihat apa yang dilakukan oleh Si Kenam itu.
Namun, itulah awal dari suatu kekacauan yang besar. Entah kenapa, Si Kenam terkena sinaran cahaya dari Si Putri yang kemudian tiba-tiba membuatnya menjadi perempuan yang sangat cantik, sama persis seperti Si Putri. Namun sebaliknya, Si Putri menjadi seseorang yang sama persis seperti Si Kenam.
Melihat penampilan barunya itu, Si Kenam merasa sangat senang dan menjadi semakin sombong. Saking sombongnya, ia menyuruh Si Putri untuk turun dari atas maligai. Lain halnya dengan Si Putri. Dia menjadi stres karena memikirkan keadaannya sekarang. Karena merasa sangat tertekan, ia mengacak-acak mukanya hingga menjadi tidak karuan. Akhirnya, ia turun dan bertemu dengan Si Kenam yang sudah menjadi secantik dirinya dulu. Mereka melakukan suatu pertukaran tugas. Si Kenam akan menjadi “Si Putri” yang tinggal di atas maligai, sedangkan Si Putri akan menjadi “Si Kenam”. Mulai saat itu, Si Putri melakukan tugas seperti yang dilakukan oleh Si Kenam waktu itu. Setelah beberapa waktu, orang-orang sekitar merasa aneh dengan perilaku “Si Kenam” yang sekarang. Ia menjadi seorang yang penurut dan baik hati.
Akhirnya, waktu pernikahanpun semakin dekat. Si Kenam yang sekarang berada di atas maligai disuruh turun untuk melaksanakan pernikahan dengan Si Tampok Pinang di dusun seberang yang melewati laut. “Si Putri” alias Si Kenam disuruh orang-orang untuk memanggil angin agar bisa menyeberangkan kapal ke seberang dusun. Hal itu adalah sesuatu hal yang biasa dilakukan bagi seorang putri yang tinggal di atas maligai. Namun, ketika Si Kenam memanggil angin, entah kenapa bau busuk datang menyengat. Akhirnya, dari kejauhan Si Putri memanggil angin untuk bisa menyeberangkan orang-orang ke seberang dusun. Kali ini, bau harumlah yang datang menghampiri.
Maka, seluruh rombongan naik kapal untuk pergi ke dusun seberang. Setelah sampai, mereka semua turun, termasuk juga “Si Putri” alias Si Kenam. Di sini, ia tinggal bersama Si Tampok Pinang. Di sisi lain, Si Putri disuruh untuk menjaga padi milik Si Tampok Pinang. Ia terus menjaganya sambil menenun. Suatu ketika, ia melihat seekor burung yang hendak memakan padi di sawah itu. Iapun menembangkan suatu lagu yang intinya, jika burung itu memakan padi itu, maka ia akan dibunuh oleh pemilik sawah itu.
Tiba-tiba, Si Putri kembali menjadi cantik seperti sedia kala. Iapun merasa sangat senang. Dari atas maligai, Si Kenam mengintip dan merasa bingung akan kejadian itu. Tak disangka-sangka, ternyata Si Tampok Pinang mendengar suara dari tembang yang dinyanyikan oleh Si Putri itu. Ia sangat mengenali suara itu. Akhirnya, ia menyadari bahwa putri yang bersamanya itu adalah putri palsu. Maka, Si Kenampun diusir dari dusunnya dan Si Tampok Pinang kembali mengajak Si Putri untuk menikah. Akhirnya, merekapun menikah dan hidup bahagia selamanya.
Diceritakan kembali oleh Dyan Rachmatullah.
Cerita ini berasal dari desa Talang Ipuh Kabupaten Banyuasin
Salam Sukses !!
BalasHapusto the point.
ketiko nak lulus wisuda dari college of foreign language and literary Malang Jawa Timur, aku pernah buat Skripsi tentang bahasa daerah Banyuasin dengan Subject penelitian Bahasa Pangkalan Balai.. kira-kira karya aku pacak di apresiasi oleh dinas pariwisata Banyuasin dak yo??? for the further information about me, please add agustaf.husaini@ymail.com